“Daripada membandingkan satu karyawan dengan karyawan lainnya, perusahaan harus lebih fokus membandingkan karyawan dengan diri mereka sendiri. Beri mereka penilaian berdasarkan pencapaian pribadi, bukan dibandingkan dengan pencapaian orang lain.”
Penilaian kinerja merupakan salah satu praktek yang jamak dilakukan oleh perusahaan. Sebuah cara agar perusahaan bisa menyematkan angka-angka pada tiap orang, melihat siapa saja karyawan yang patut dipertahankan atau dilepas, serta memberi insentif sesuai performanya.
Sekilas, terdengar masuk akal.
Namun sadarkah Anda bahwa penilaian kinerja sebenarnya tidak merepresentasikan kinerja karyawan dengan akurat? Bahkan lebih dari itu, penilaian kinerja bisa berbahaya.
Penilaian kinerja justru menurunkan motivasi
Praktek penilaian kinerja merupakan cara yang telah banyak digunakan perusahaan di dunia sejak tahun 1980.
Penilaian kinerja di kebanyakan perusahaan menggunakan model statistik bernama Bell Curve yang membagi karyawan menjadi tiga kelompok. Asumsi pengguna model ini adalah: ada sebagian kecil karyawan yang memiliki performa sangat baik dan ada sebagian kecil lain yang bekerja sangat buruk.
Pengguna model ini percaya, hasil kerja 80% karyawan sebenarnya merupakan hasil dari pekerjaan 20% karyawan terbaik di perusahaan mereka. Jadi apabila setiap karyawan dinilai dalam skala angka 1-5, hanya ada 10% karyawan mendapat angka 1 (low performer) dan 10% yang mendapat angka 5 (high performer). Sisanya? Pegawai rata-rata.
Representasi di atas dianggap kuno karena merupakan generalisasi berlebihan dan tidak akurat.
Contoh, di model bell curve, seorang karyawan akan terus dinilai sebagai low performer, padahal ia hanya terlihat relatif rendah karena berada di tengah para high performer. Meskipun secara standar umum dia sudah bekerja dengan baik, dia akan terus tergeser ke 10% terbawah.
Masalah juga terjadi di kalangan para karyawan terbaik. Bayangkan, bila terlalu banyak high performer dalam satu perusahaan, jatah ‘gelar’ karyawan terbaik akan semakin menipis.
Seorang yang sebenarnya mungkin tergolong high performer bisa dicap sebagai karyawan biasa-biasa saja.
Sementara itu, karena harus memilah karyawan ke dalam kotak-kotak performa, perusahaan jadi hanya menghargai performa yang kasatmata, sementara kinerja yang tak tampak akan diabaikan.
Memunculkan kompetisi tak sehat dan status quo
Selain tidak akurat, sistem penilaian kinerja juga rawan akan munculnya kompetisi tidak sehat di kalangan karyawan. Apalagi bila hasil penilaian itu bisa diakses umum.
Para karyawan yang berada dekat dengan peringkat akhir akan terus-menerus merasa cemas kehilangan pekerjaan. Sementara mereka yang dekat dengan peringkat atas akan saling sikut dan enggan berbagi ilmu.
Mereka yang konsisten berada di peringkat tengah cenderung akan merasa cukup dengan posisinya itu. Bukannya mendorong karyawan untuk mendaki, sistem penilaian seperti ini malah membuat mereka enggan berubah karena jatah high performer terbatas.
Bila suasana sudah seperti ini, lingkungan kerja akan menjadi tidak kondusif. Kolaborasi tidak akan berjalan dengan baik sebab semua rekan adalah saingan. Bukannya mendorong karyawan untuk tumbuh, tapi justru dapat menurunkan kinerja perusahaan secara menyeluruh.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Penilaian kinerja sebetulnya tidak 100% salah. Evaluasi serta perbaikan performa tentu tetap dibutuhkan. Tapi mengelompokkan karyawan berdasarkan Bell Curve serta memberi peringkat adalah praktik yang harus kita tinggalkan.
Perusahaan-perusahaan terkemuka seperti Adobe dan Microsoft pun sudah lama meninggalkannya.
Riset pada tahun 2011 menunjukkan bahwa Curve Bell tidak menunjukkan performa karyawan secara nyata.
Model statistik Power Law Distribution (Distribusi Hukum Pangkat) dianggap lebih tepat.
Dalam model ini, kita mengakui bahwa ada sebagian kecil karyawan dengan performa sangat tinggi (high performer) atau sangat rendah (low performer). Lalu, sebagian besar karyawan adalah mereka yang memiliki performa hanya sedikit di atas atau sedikit di bawah titik rata-rata.
Di model Power Law Distribution, perusahaan tidak akan memberi label negatif kepada mereka yang tidak benar-benar pantas mendapatkannya. Ini karena sebenarnya kondisi performa yang dekat dengan rata-rata itu masuk dalam kategori performa yang bisa diterima (good performance). Perusahaan juga tidak akan membatasi jumlah orang yang bisa menjadi high performer. Malah kalau semua orang menjadi high performer, itu lebih baik.
Daripada membandingkan satu karyawan dengan karyawan lainnya, perusahaan harus lebih fokus membandingkan karyawan dengan diri mereka sendiri. Beri mereka penilaian berdasarkan pencapaian pribadi, bukan dibandingkan dengan pencapaian orang lain.
Manajer jangan terpaku pada performance review tahunan, namun harus memberikan feedback dan menyesuaikan target secara reguler.
Perusahaan harus memfokuskan karyawan agar berkolaborasi, mengikuti pelatihan, pengembangan diri, dan memberi ruang untuk melakukan hal-hal hebat. Semua orang punya potensi untuk menjadi high performer, asal kondisinya tepat.
Tak perlu bingung mencari tools yang tepat, AbsenKu Profesional mampu menjadi solusi terbaik bagi keterbukaan sistem di perusahaan Anda.
AbsenKu Profesional ini merupakan aplikasi absensi berbasis cloud yang memungkinkan setiap anggota tim melakukan absensi secara digital. Tak terbatas tempat dan alat, aplikasi AbsenKu Profesional dapat digunakan di manapun (di tempat yang diperbolehkan perusahaan) dan juga tanpa alat scanner tambahan, cukup dengan smartphone saja, semua anggota tim bisa melakukan absensi.
Tak hanya itu saja, aplikasi AbsenKu Profesional juga bisa dimanfaatkan untuk mengelola data cuti dan jam lembur karyawan. Sehingga seluruh data absensi, cuti maupun lembur karyawan akan terkumpul secara jelas dan akurat.
Karyawan bisa memantau performa mereka sendiri, mulai dari kedisiplinan masuk kerja, kapan mereka ambil cuti dan berapa lama waktu mereka untuk lembur. HRD akan lebih mudah mengontrol absensi karyawan, meng-acc pengajuan cuti, mendata lembur karyawan tanpa harus repot dan banyak lagi.
Pimpinan pun dapat menggunakan AbsenKu Profesional untuk mengecek seluruh data karyawan. Sehingga dari data tersebut dia berhak menentukan, manakah karyawan yang berhak mendapat apresiasi dan mana yang berhak mendapat teguran secara adil.
Pimpinan bahkan bisa memantau seluruh data performa kinerja karyawan secara real time di manapun dia berada tanpa terpaku pada alat yang meribetkan. Cukup dengan satu genggaman saja lewat AbsenKu Profesional, kerja pimpinan akan jadi lebih praktis dan efisien.